Monday, June 17, 2013

Pengusaha Keluhkan Ongkos Sertifikasi Legal Kayu

Posted on 12:23 AM by Unknown

Untuk kelengkapan ekspor, perusahaan harus mengantongi sertifikasi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), yang membutuhkan biaya Rp 20-30 juta. Karena itu, meski aturan tersebut telah diberlakukan sejak Maret 2013, masih sedikit eksportir furnitur yang mengantongi SVLK. Ambar mencontohkan, dari sekitar 400 perajin furnitur, baru sekitar 100 orang yang memiliki SVLK.


Pemerintah masih memberi kelonggaran kepada pengusaha kecil untuk mengurus SVLK sebagai kelengkapan ekspornya hingga 1 Januari 2014. "Kami minta pemerintah memperhatikan tingginya biaya ini. Jangan sampai peraturan ini justru membunuh industri kecil," ujar Ambar.


Hal senada disampaikan Kepala Bidang Advokasi Industri Kecil Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia Jepara, Sahli Rais. "Ketentuan tersebut membebani biaya produksi pengusaha mebel skala kecil," katanya. Selain biaya sertifikasi, kata dia, ada biaya pendampingan dari lembaga sertifikasi sebesar Rp 15 juta.


Penerbitan SVLK dianggap sebagai solusi terhadap isu penggunaan kayu ilegal yang masih membayangi industri mebel. Isu lain yang juga menjadi sorotan pemerintah adalah laju deforestasi yang berdampak pemanasan global. Pemerintah Indonesia menetapkan SVLK secara mandat untuk menangkal isu-isu tersebut.


Sejumlah regulasi sudah diterbitkan, yang mewajibkan semua ekspor produk kayu dari Indonesia dilengkapi dengan dokumen V-Legal dari pemegang sertifikat legalitas kayu berdasarkan skema SVLK. Sejak Maret lalu, hanya perusahaan yang memiliki SVLK yang bisa mengekspor produk ke pasar Uni Eropa.


Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan penerapan sertifikasi SVLK sangat penting diterapkan agar kayu dan produk kayu Indonesia dapat diterima di pasar internasional, termasuk Amerika Utara dan Amerika Serikat. Hal ini juga untuk merespons tren perdagangan dunia, yang sedang bergerak ke arah yang lebih ramah lingkungan.


Ekspor produk kayu Indonesia ke Amerika pada periode Januari-Februari 2013 tercatat mencapai US$ 165,95 juta, atau 10,49 persen dari total ekspor kayu dunia, yang mencapai US$ 1,581 miliar. Sebagian besar produk kayu yang diekspor itu berupa furnitur.


Pada 2012, nilai ekspor produk furnitur Indonesia mencapai US$ 1,95 miliar, atau sekitar 1,2 persen dari total ekspor non-migas Indonesia. Negara tujuan utama ekspor furnitur Indonesia adalah Amerika Serikat, dengan nilai mencapai US$ 599,3 juta.


Meski demikian hingga saat ini penandatanganan voluntary partnership agreement (VPA) untuk produk perkayuan Indonesia dengan Uni Eropa belum juga rampung. Kerja sama itu awalnya ditargetkan bisa ditandatangani pada Januari lalu.


Direktur Program Multi-Stakeholder Forestry Programme Yayasan Kehati, Diah Rahardjo, mengatakan, keterlambatan itu disebabkan oleh belum selesainya penerjemahan bahasa sertifikat legal oleh pihak Uni Eropa. PINGIT ARIA | SOHIRIN | TIKA PRIMANDARI | RR ARIYANI

No Response to "Pengusaha Keluhkan Ongkos Sertifikasi Legal Kayu"

Leave A Reply